PRANGKO WAYANG DAN BATIK INDONESIA
Pos Indonesia Ciptakan Perangko Berbahan Batik dan Kulit Berbentuk Gunungan Wayang
Selama ini filatelis mancanegara kurang tertarik mengoleksi perangko buatan Indonesia. Selain ragamnya yang kurang variatif, perangko lokal tidak mencerminkan keunikan dan kelangkaan. Tapi perangko berbahan dasar batik dan kulit berbentuk gunungan wayang adalah pengecualian. Kolektor perangko dunia pun memburunya.
HENDRIYANTO, Jakarta
Tidak mudah membuat perangko dari bahan dasar batik maupun kulit. Apalagi perangko dari kulit dibentuk menyerupai gunungan wayang. Kedua jenis prangko unik dan langka ini tidak bisa diprint di security printing indonesia.
”Kami kirim itu ke Perancis, karena di kita tidak ada teknologinya,” kata Direktur Ritel dan Properti PT Pos Indonesia Setyo Riyanto pada acara pameran filateli dan penganugerahan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) di Jakarta, akhir pekan kemarin. Perangko dari batik dan kulit berbentuk wayang ini dinilai tak hanya memecahkan rekor Indonesia, tetapi juga rekor dunia.
Pencetakan di Perancis sebenarnya hanya sentuhan akhir. Sebelum dikirim ke Perancis, perangko batik dibuat khusus oleh para penenun dan pembatik di Garut, Jawa Barat. Sedangkan perangko berbahan kulit yang dibentuk menyerupai gunungan wayang dibuat oleh pengrajin wayang di Jogjakarta.
Kemudian bahan dasar yang sudah dibuat para pengrajin di tanah air itu dibawa ke Perancis untuk mendapat sentuhan akhir. Karena di sana kedua jenis perangko unik dan langka ini bisa dicetak dengan teknologi tinggi yang memang alatnya tak tersedia di Indonesia.
Pada umumnya perangko yang dikeluarkan Pos Indonesia dicetak Percetakan Negara. Tapi itu adalah perangko yang terbuat dari kertas. Beda dengan dua perangko unik ini, yang terbuat dari batik dan kulit. Karena proses produksinya yang rumit, Pos Indonesia hanya mencetak 5000 lembar perangko batik dan kulit.
Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan total penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa. Akibatnya, sejak diluncurkan pertengahan tahun ini, dua jenis perangko yang dijual Rp 5.000 per lembar itu langsung diburu kolektor. Bukan hanya kolektor Indonesia, melainkan juga dari mancanegara. Kini perangko batik dan kulit tersebut ludes terjual.
”Stok di kami sudah tidak ada lagi. Semua sudah di tangan kolektor,” tutur Setyo. Maklum, batik dan wayang sudah lama dikenal sebagai warisan budaya dunia. Bahkan negara lain seperti Malaysia pernah ingin mengklaim itu sebagai hasil kebudayaan mereka.
”Melalui perangko ini, Pos Indonesia ikut mempromosikan batik dan wayang sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Perangko batik dan wayang kini sudah berada di tangan kolektor dunia,” kata Setyo.
Biasanya dalam sekali penerbitan perangko, Pos Indonesia biasanya menerbitkan 300.000 lebar. Jumlah ini sebetulnya sedikit jika dibandingkan 1970-an yang sekali penerbitan bisa mencetak hingga 3 juta lembar perangko. ”Tapi sekarang mencetak 300.000 saja tidak habis terjual dalam setahun. Paling terjualnya hanya 50.000,” kata Setyo.
Seiring kemajuan teknologi informasi, jasa pengiriman surat melalui pos memang mulai ditinggalkan. Kalah bersaing dengan SMS (sort massage service) melalui handphone dan surat elektronik (e-mail). Dengan berkurangnya penggunaan jasa pengiriman surat, maka menurun pula penjualan perangko.
Tapi di tengah tren penurunan penjualan perangko, ada sekelompok kecil masyarakat dunia yang mengumpulkan perangko itu untuk kepentingan koleksi dan tukar-menukar. Nah, segmen inilah yang tidak terpuasi oleh perengko-perangko Indonesia yang jumlahnya tidak banyak, temanya yang diangkat tidak menggigit, dan tidak menunjukkan kelangkaannya.
Maka munculah inovasi berupa perangko dari batik dan juga kulit menyerupai gunungan wayang. Terbukti, perangko yang dicetak sangat terbatas jumlahnya ini meningkatkan animo kolektor. Filatelis dunia pun tak ketinggalan memburunya.
Perangko yang semula hanya dimaksudkan sebagai tanda pelunasan biaya pengeposan, kini telah berkembang menjadi benda koleksi yang sangat besar daya tariknya. Doktor Gray, seorang pejabat museum di Inggris, tercatat sebagai pengumpul perangko pertama. Ia mencari perangko melalui surat kabar The London Times tahun 1841. Di Indonesia, salah satu tokoh yang hobi mengumpulkan perangko adalah Meutia Hatta, putri proklamator Indonesia Muhammad Hatta.
Berbagai penelitian pun telah dilakukan terhadap hobi mengumpulkan perangko ini. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, mengumpulkan perangko dipercaya dapat membentuk sifat-sifat mental yang positif. Di antaranya sifat bersemangat, sabar, tekun, berhati-hati, teliti, hemat, kreativitas dan rasa seni, serta jujur dan saling pengertian.
”Ketika penjualan perangko turun, komunitas filateli yang harus kami puaskan dengan menerbitkan perangko unik seperti yang terbuat dari batik dan wayang itu,” kata Setyo. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar